JKT48

Rabu, 21 Mei 2014

You Are not you Forget Me But Always Inconceivable

Di tengah keindahan malam yang berselimut bintang. Mala (Fatmala) duduk seperti tak beryawa, senyumnya yang dulu ceria kini jadi air mata. Dengan rasa tidak karuan ia mencoba mencari ketenangan di kamar depan rumahnya. Matanya yang bening bagaikan embun pagi yang tak tersentuh oleh manusia kini sering memuntahkan cairan perasaan yang bersumber dari hatinya jika ia ingat dengan sosok pangeran berkuda putih yang tak bisa ia miliki. Dalam wajahnya tampak kekecewaan yang mendalam, seringkali nafasnya tertahan karena warna yang dulu ia kenali kini telah pergi.
Di samping kursi yang ia duduki terdapat beberapa kenangan Mala dari kekasihnya yaitu Duvid. Surat, cincin, bunga mawar dan boneka beruang yang berwarna coklat dari Duvid akan ia hilangkan dari ingatannya. sering kali ia tersenyum namun bukan gembira melainkan senyum kehancuran jika ia melihat kenangan–kenangan itu. Air matanya pun langsung berlinang membanjiri wajah cantik yang ia miliki.
Ia duduk ditemani rasa hancur sambil memeluk gitar yang setia menemaninya. Pandangan matanya lurus ke teras rumah yang sedang terkena rintik hujan. Suara cicak dan katak pun seolah menemani alunan petikan gitar yang ia mainkan. Mala menggelengkan kepala. Kekecewaan yang ia rasa menjadikan ia ngobrol dengan dirinya sendiri di depan cermin. Seperti ini.
“Aku tuh bodoh. Kenapa aku masih berharap ia kembali. Aku salah bermimpi, mimpiku terlalu tinggi untuk ku gapai sehingga ketika ku jatuh rasa itu menusuk sampai ke jantung hati ini”
Ia langsung duduk di kasur yang berwarna merah muda seperti hatinya saat ia pertama kenal dengan Duvid Namun, kini warna itu menjadi pucat seperti hilang jiwanya. Dalam hatinya ia ingin melupakan. Namun semakin ia melupakan semakin ia terbayangkan sosok itu.
Setelah itu ia mencoba menulis sesuatu di kertas yang ada di sampingnya, ia mencoba menuliskan kata-kata yang sedang ia rasakan berharap bisa sedikit mengobati kehancuran itu. Tulisannya seperti ini.
“Andai engkau selalu di sisi mungkin aku takan pernah meraskan sepi. Andai kini aku bisa memelukmu mungkin luka ini sedikit terobati. Namun, andai saja awal itu aku aku pernah mengenalmu mungkin aku takan seperti ini, meski aku tak menyesal untuk mencintaimu”.
Namun kata-kata yang ia rangkai sendiri itu malah membuat ia ingat dengan Duvid, sehingga keluarlah air matanya. Tangan yang putih dan halus selalu mengusap tetes demi tetes air mata yang jatuh di pipinya.
Sebenarnya masih banyak yang lebih dari Duvid. Namun, mala tak bisa melupakannya. Seribu jalan telah ia lalui hanya untuk melepaskan bayangan Duvid. Namun, bukannya terlupakan tapi banyangan Duvid malah semakin menghantuinya. Rambutnya yang hitam dan panjang sering ia remas dan menjadi acak-acakan. Tangan yang indah itu selalu memegang kepalanya. Ia merasa terbebani.
Malam semakin larut dan satu bintang telah menciut sinarnya. Mala mencoba bangun dari kursi yang ia duduki, dan ia mencoba melepaskan kegalauan yang di rasa. Dengan langkah gontai tak terarah ia mencoba mendekai cermin tempat ia berbagi kisah dengan dirinya sendiri. Tubuh yang seksi beserta kulit yang putih dan rambut yang panjang yang ia miliki langsung berdiri di depan cermin. Ia mengusap air matanya dan tersenyum. Ia pun berbicara kepada cermin itu. Seperti ini.
“UughHh… Apakah kau akan selalu seperti Bintang? atau Bulan? yang hanya mampu ku pandangi dan tak bisa ku miliki. Atau kau terlalu tinggi untukku? sehingga aku tak bisa menggapainya.”
Tidak lama kemudian tangan yang halus itu mengobrak-abrik cosmetik-cosmetik yang ada tepat di bawah cermin. ia melempar-lemparkan cosmetik yang selalu setia menemani wajahnya. Lipstick, pelembab, parfum dan sebagainya berterbangan dan mendarat di lantai kamar yang berkramik puih menjadi acak-acakan.
Sementara itu di luar rintik hujan belum juga reda, malam semakin sunyi, udara semakin dingin. Namun, Mala membuka jendela kamarnya dan langsung melempar kenangan-kenangan saat ia masih dengan Duvid Dengan rasa tak karuan dan ia pun mulai lelah, ia naik ke atas kasur yang berbantalkan dua dan berselimut putih. Ia mencoba memejamkan kedua matanya. Namun, itu sia-sia, keinginan untuk memejamkan mata tak ia dapatkan, ia pun langsung bangun mendekati cermin lagi. Ia menatap matanya yang bengkak akibat kebanyakan air mata yang keluar. Keadaan pun menjadi hening dan jam dinding mengarah pada pukul 01.30. Ia pun langsung mengambil kertas kosong berwarna putih dan pulpen yang bertinta hitam. Ia sadar tidak ada gunanya ia menangisi keadaan ini. Ia langsung menulis sebuah kalimat yang sedang ia rasakan dan ia berharap Duvid kan mengetahuinya. Kalimatnya seperti ini.
“Duvid,.... mungkin pedih ini hanya aku yang rasa. Namun, ku berharap kau kan mendengarkannya. Mungkin Tuhan datangkan engkau untuk ku, hanya untuk membuat aku mengerti apa yang namanya cinta sejati. Yaitu, cinta yang tak mengenal pamrih dan tak harus memiliki.
Andai saja ada sedikit waktu untuku sebelum aku mati, ingin sekali aku melihat senyum mu tuk terakhir kali”
Setelah itu ia terbaring di lantai yang dingin Karena udara malam. Dan ketika ia sadar ia tak mengetahui kalau sekarang sudah pukul 06.00 pagi. Dan tanpa disadari ketika ia mengambil hand phon ada pesan masuk dari Duvid. Seperti ini.
“’Hidup berawal dari mimpi. Sekarang adalah kenyataan bukan mimpi, namun mimpimu pun suatu saat akan jadi kenyataan asal kita mau berusaha. Ingat jangan sia-siakan waktumu dengan hal-hal yang tak tentu.”
Mala pun tersenyum lega setelah membaca pesan dari Duvid itu. Ia pun membuka hari baru dengan senyuman yang baru.

@Duvid_IC48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar